Tidak dapat disembunyikan bahwa bid’ah ditinjau dari gambarannya membuat orang yang berakal mengetahui tentang tercelanya hal tersebut, sebab mengikutinya berarti keluar dari jalan yang lurus dan terjerumus ke dalam kegelapan.
=====================================================
Adapun dari tinjauan akal, terbagi menjadi beberapa segi, yaitu:
1. Berdasarkan hasil penelitian dan pengetahuan yang berjalan di alam raya, sejak terciptanya dunia sampai hari ini, sesungguhnya akal manusia tidak berdiri sendiri menurut kepentingannya masing-masing, namun terpengaruh oleh hal-hal yang masuk ke dalamnya, yang dapat merusaknya atau justru melindunginya. Hal itu karena akal selalu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat duniawi dan ukhrawi.
===================================================
Sesungguhnya akal sama sekali tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya ushul, tetapi berdiri di atas dasar-dasar yang telah ada sebelumnya dan yang mutlak kebenarannya, yaitu waktunya.
Kesimpulannya, akal tidak mampu mengetahui kemaslahatan apa pun tanpa adanya wahyu. Oleh karena itu, perbuatan bid’ah sangat bertentangan dengan dasar-dasar tersebut, karena bid’ah sama sekali tidak mempunyai sandaran syariat dan yang tersisa hanyalah hal-hal yang berasal dari akal para pembuatnya. Para pelaku bid’ah juga tidak yakin sedikit pun bahwa perbuatan mereka akan mendapatkan pahala. Oleh karena itu, bid’ah adalah sesuatu yang sia-sia.
===================================================
Ada yang pendapat bahwa orang yang melakukan bid’ah secara nyata tidak meyakini perbuatannya, karena pada saat itu ia hanya menjalankan perintah dari seseorang. Pada kondisi demikian, akal jauh dari konsep ini, sebagaimana yang tertera dalam ilmu ushul. Jadi, hendaklah kamu harus menjauhkan satu ajaran yang dipraktekkan oleh pemeluknya dengan kesungguhan tanpa ada keyakinan kepada dirinya, untuk kemudian melemparkan sesuatu yang lebih meyakinkan dari tangannya.
===================================================
2. Syariat datang secara sempurna dan tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, sesuai firman-Nya, ” Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. Al Maaidah [5]: 3).
===================================================
Dalam hadits riwayat Al Irbadh bin Syariyah dijelaskan, “Rasulullah SAW menasihati kami dengan nasihat yang dapat mencucurkan air mata dan menggetarkan hati. Kami pun berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ini adalah nasihat perpisahan, maka apa yang engkau amanatkan kepada kami?’ Beliau bersabda, ‘Aku telah meninggalkan untuk kalian ajaran yang putih, yang malamnya bagaikan siangnya, dan tidak ada seorangpun yang ragu atasnya setelahku kecuali orang yang celaka. Barangsiapa diantara kalian hidup setelahku, niscaya akan mendapatkan perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegang teguh pada hal-hal yang kalian ketahui dan Sunnahku dan Sunnah orang-orang yang mendapatkan petunjuk setelahku’.”6 (Al Hadits)
===================================================
Telah menjadi ketetapan bahwa Nabi SAW meninggal dunia setelah menjelaskan semua hal yang dibutuhkan (oleh umatnya); baik dalam hal agama maupun dunia. Tidak ada perselisihan dalam hal ini bagi mereka yang mengikuti Ahlus-Sunnah.
Jika demikian kondisinya, maka pelaku bid’ah seakan berpendapat —baik secara tersirat maupun tersurat— bahwa syariat belum sempuma
===================================================
Ibnu Al Majisyun berkata, “Aku mendengar Malik mengatakan bahwa barangsiapa membuat bid’ah dalam Islam yang dianggap baik, maka ia telah menyangka bahwa Muhammad SAW telah berkhianat kepada risalah, karena Allah berfirman, ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukkamu agamamu’. Apabila pada saat itu tidak ada agama, maka hari ini pun tidak ada agama selain agama Islam.”
===================================================
Orang yang berbuat bid’ah telah membangkang terhadap syariat dan mendatangkan kesulitan baginya —untuk mempelajari dan mengamalkan—, karena pembuat syariat telah menetapkan ketentuan-ketentuan bagi setiap hamba dari jalur yang khusus dan pada sisi-sisi yang khusus pula. Pembatasnya hanya berbentuk perintah dan larangan, pahala dan siksa, serta pemberitahuan bahwa kebaikan adalah ketika mengikuti syariat dan keburukan adalah ketika melampaui batas
===================================================
Orang yang membuat bid’ah telah menolak semua perkara tersebut dan menyangka masih ada jalan-jalan lain yang tidak dibatasi oleh syariat dengan batasan dan ketentuan tertentu. Ia menyangka bahwa dirinya mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh Pembuat Syariat.
Jika demikian yang dimaksud oleh pembuat bid’ah maka, ia dianggap ingkar terhadap syariat dan pembuatnya. Namun apabila tidak demikian maksudnya maka ia dalam kesesatan yang nyata.
===================================================
Berpegang teguhlah pada Sunnah, karena Sunnah telah diejawantahkan oleh orang yang mengetahui bahwa menyelisihi Sunnah adalah suatu tindakan yang keliru, bodoh, dan pandir.
“Ucapan Umar bin Abdul Aziz”
===================================================
4. Orang yang membuat bid’ah telah memposisikan dirinya sama dengan Pembuat syariat, karena Pembuat syariat menentukan syariat dan mewajibkan bagi makhluk untuk berjalan di atas Sunnah-sunnah-Nya. Dengan demikian hanya Dia yang berhak atas hal tersebut, sebab Dia yang menentukan hukum di antara makhluk atas apa yang mereka
perselisihkan. Jika tidak demikian, berarti ketentuan syariat itu atas sepengetahuan makhluk, dan jika benar demikian maka hukum-hukum syariat tidak akan diturunkan dan tidak akan ada perselisihan di antara manusia dan pasti tidak ada kebutuhan untuk mengutus utusan kepada manusia.
====================================================
Mengikuti syahwat. Karena, jika akal tidak mengikuti syariat, maka tidak ada lagi yang diikutinya selain hawa nafsu dan syahwat, dan Anda tahu bahwa mengikuti syahwat adalah kesesatan yang nyata, sesuai dengan firman Allah Ta ala, “HaiDaud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan Hari Perhitungan.” (Qs. Shaad [38]: 26).
====================================================
Jadi, semua hukum hanya dibatasi oleh dua perkara, yaitu kebenaran dan hawa nafsu. Dalam hal ini, akal tidak memiliki bagian, kecuali pada kedua hal tersebut terdapat masalah. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta mengikuti hawa nafsunya.” (Qs. Al Kahfi [18]: 28). Dengan demikian, satu perkara dibatasi oleh dua perkara, yaitu mengikuti dzikir atau mengikuti hawa nafsu. Dia berfirman, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah?’ (Qs. Al Qashash [28]: 50)
====================================================
Ayat tersebut menerangkan dengan jelas bahwa orang yang tidak mengikutsertakan petunjuk Allah pada hawa nafsunya adalah orang yang paling sesat, dan tidak ada seorang pun yang lebih sssat dari dirinya.
====================================================
Begitulah keadaan pembuat bid’ah, ia telah mengikuti hawa
nafsunya tanpa petunjuk dari Allah, dan petunjuk dalam hal ini adalah Al Qur’an.
====================================================
Sesungguhnya semua hal yang telah diterangkan oleh syariat dan ayat Al Qur’an, tentang mengikuti hawa nafsu, dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Hawa nafsu mengikuti perintah dan larangan. Hal itu akan membuat pelakunya tidak tersesat dan tercela, sebab ia lebih mengedepankan petunjuk yang menerangi jalan bagi hawa nafsunya. Seperti inilah kondisi seorang mukmin yang bertakwa.
2. Hawa nafsu menjadi tujuan utama, sedangkan perintah dan larangan hanya mengikutinya. Padahal, ia mengikuti atau tidak, posisinya tetap tercela.
Memang, pelaku bid’ah lebih mengedepankan hawa nafsunya daripada petunjuk Allah, sehingga ia menjadi manusia yang paling sesat, walaupun ia mengira dirinya berjalan di atas petunjuk.
====================================================
Telah tampak di sini sebuah pengertian yang harus diperhatikan secara saksama, yaitu bahwa ayat tersebut menerangkan tentang dua jalan dalam mengikuti hukum-hukum agama, yaitu:
1. Syariat
Tidak diragukan lagi bahwa ia adalah ilmu, kebenaran dan petunjuk.
2. Hawa nafsu
Bagian ini sangat tercela, karena disebutkan di dalam Al Qur’an kecuali dengan pemyataan-pemyataan yang menunjukkan celaan serta tidak menjadikannya sebagai jalan ketiga. Orang yang meneliti ayat-ayat Al Qur’an secara terus-menerus pasti akan menemukan hal tersebut seperti adanya.
====================================================
Dirangkum dari Kitab Al-’Itisham, karya Imam Asy-Syathibi